عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Banyak hal yang dapat diambil dari hadits diatas serta banyak pula konsekuensi hukum yang merupakan mata rantai dari pada hadits tersebut. Diantaranya ;
a. Hadits ini terjadi saat Kanjeng Nabi membentuk sepasukan tentara intelejen (sirriyah) yang dipimpin oleh Abdullah bin Hudzafah. Ada sedikit keraguan pada waktu itu, karena pada zaman itu mereka belum mengenal struktur ketentaraan. Sehingga turun ayat :
Sehingga Rasululloh pun menimpali dengan bersabda :
b. Hadits tersebut juga merupakan qoyyid (batasan) akan semua perintah Al-Qur_an maupun hadits yang mengharuskan kesetiaan kepada pemimpin. Bahwa semua perintah atasan harus dilaksanakan kecuali dalam kemaksiyatan.
c. Apabila ada pemimpin yang memberikan perintah yang membingungkan seperti diatas atau bahkan betul-betul tidak sesuai syari’at Islam, maka apa yang dilakukan sahabat yang melapor mengadukan permasalahan tersebut kepada Kanjeng Nabi memang sudah tepat. Sehingga turun ayat yang melengkapi ayat diatas
d. Hadits tersebut merupakan ide dasar dari Kaidah fiqh :
e. Sabda Rasul bahwa kesetiaan harus bersandar kepada hal yang ma’ruf, menunjukkan keharusan seorang pemimpin untuk memperhatikan kepentingan orang banyak. Karena kata “ma’ruf” (isim maf’ul dari ‘arofa-ya’rifu : mengetahui) berarti hal yang diketahui oleh orang banyak. Dan tentu hal tersebut dalam hal-hal positif. Sehingga memunculkan satu kaidah fiqh :
Bagaimana dengan negara Indonesia ? Susah sekali untuk dijawab. Negara kita memang bukan negara Islam, tetapi bukan juga negara kafir seutuhnya. Banyak hukum-hukum Islam yang telah diterapkan, semisal hukum perkawinan, hukum waris dan sebagainya. Sedang hukum jinayat (kriminal) dan lain-lain hanya diberlakukan ruh tasyri’nya (semangat yang terkandung dalam syari’at) saja.
Kenyataannya dari sekian banyak negara yang ada di dunia ini hanya dua yang mencantumkan nama Islam pada nama negaranya, pertama Iran (Islamic Republic of Iran) dan kedua Mauritania (Islamic Republic of Mauritania).
Saudi Arabia -yang katanya menjalankan hukum Islam seutuhnya- kenyataannya tidak seperti itu, bahkan negaranya pun berbentuk kerajaan.
Islam tidak terlalu mementingkan symbol tetapi penerapan terhadap muatan yang dibawanya. Politik memang penting dan nasbul imamah (mengangkat pemimpin) adalah wajib, tapi itu semua kalah penting dengan penerapan rukun Islam yang termaktub dalam bab-bab ibadah. Sehingga semua kitab fiqih pasti membahas masalah peradilan atau politik dibagian paling belakang/terakhir. Seolah para ulama’ ingin menyampaikan pesan, bahwa negara Islam bisa sangat terwujud jika rakyatnya telah melalui fase ibadah yang matang, melewati mu’amalah (ekonomi) yang kuat, baru kemudian politik bisa terselenggara dengan baik.
Alhasil, sahkah pemerintahan Indonesia menurut fiqh ?
Sebagai solusi, ada sebagian ulama yang mengatakan, pemerintahan kita itu
Jika dibilang tidak sah, maka konsekuensinya akan sangat jauh lebih berbahaya bagi kemakmuran bangsa.
Contoh kecil ; jika pemerintah Indonesia tidak sah, maka departemen agama tidak sah, Naib KUA (Kantor Urusan Agama) pun juga tidak sah, maka penganten yang dikawinkan pun juga tidak sah. Sekarang boleh dihitung, berapa jumlah perzinahan yang sudah terjadi selama ini ? berapa anak haram yang terlahir ? bagaimana hukum warisnya ? dan lain-lain. Mungkin akan dikatakan sedikit ceroboh jika berpandangan seperti itu.
……………….
Suka artikel diatas ?, Silahkan Klik :
POSTING : Loyalitas Yes! Maksiyat No!
SHARE : Bagikan untuk teman anda. Semoga bermanfaat dan terima kasih.