Saling melengkapi saat terjadi ketidaksempurnaan adalah keniscayaan |
Hai orang-orang yang “beriman”,
tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa
dan janganlah kamu menghalangi mereka
karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan pada mereka,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
(An-Nisa 19)
Beberapa yang perlu ditekankan :
(1)
Khitob untuk yang beriman.
Khitob (arah bicara) ditujukan kepada orang beriman.
Berarti ada tuntutan untuk berislam secara baik.
Artinya, berkeluarga tanpa ada niat beribadah
(berlandaskan iman dan sesuai aturan islam)
pasti berantakan, pasti tidak harmoni
dan malah bisa berujung neraka.
(2)
Mewarisi wanita.
Sebuah contoh akhlaq jaman jahiliyah ;
sang ibunda adalah termasuk harta warisan peninggalan babe !!!.
Praktik asusila ini dihapus dalam ayat tersebut.
(3)
Menghalangi apa yang sudah diberikan.
Mahar, nafaqoh, hadiah atau hal-hal lain
yang sudah diberikan kepada istri
tentu tidak patut bila ditarik kembali.
(4)
Fahisyah mubayyinah ; “asusila yang vulgar”.
Fahisyah : zina (ibnu Abbas) atau berkata keji.
Perlu ada langkah-langkah “protektif” yang bijak
saat para istri melakukan tindakan tidak senonoh
merugikan keutuhan keluarga,
baik dari hanya sekedar
kata sewot – ceriwis yang tidak pantas
hingga perbuatan yang melanggar susila syari’at.
(5)
Mu’asyaroh ma’rufah
Mu’asyaroh dari asal kata sepuluh (‘asyroh).
Dan bilangan ini adalah symbol “sempurna”
menurut orang arab.
Artinya : sempurnakanlah istri-istrimu.
Bila ada istri punya nilai “9” tambahkanlah 1
sehingga menjadi sempurna.
Dan mu’asyaroh dari asal kata
yang mengikuti aturan musyarokah (kerja sama).
Ini berarti, bahwa tuntutan untuk mendapat
nilai sepuluh harus ada kerja sama suami istri.
Khitob mu’asyaroh juga ditujukan kepada suami.
Artinya, bahwa suami harus menjadi pionir
untuk ber-mu’asyaroh.
Hal ini karena kebanyakan wanita adalah pemalu,
atau memang karena tidak sedikit
dari para istri yang melakukan hal-hal aneh.
Kata ma’ruf adalah obyek (maf’ul)
dari asal lafal ‘arofa : mengetahui.
Berarti artinya adalah ‘yang diketahui’.
Diketahui siapa?
Semua. Baik sesuai pengetahuan suami,
sesuai pemahaman istri,
atau sesuai yang ‘seharusnya’ diketahui
oleh keduanya, menurut adat atau agama.
Kata ma’ruf harus diartikan pada hal-hal positif,
karena untuk meraih nilai 10 diatas.
Inilah kenapa kata ma’ruf kadang diartikan
patut, benar atau bijak.
(6)
Tidak suka syai_an.
(syai_an : sedikit sesuatu)
Suka dan tidak suka adalah perbuatan hati.
Hati yang berbeda tentu berbeda pula kesukaannya.
Untuk itu, tidak perlu tergesa untuk bilang “pisah”
atau semacamnya saat ada kata ‘tidak suka syai_an’.
Sebab ada kemungkinan Alloh justru memberi anugrah
hal terbaik nan besar pada syai’an tersebut.
Untuk itu komitmen saling memaklumi
saat di jenjang “ibadah nikah”
adalah kunci utama.
والله أعلم
Suka artikel diatas ?, Silahkan Klik :
POSTING : Saling melengkapi
SHARE : Bagikan untuk teman anda. Semoga bermanfaat dan terima kasih.