Dan bila itu adalah musibah bagi mereka, maka yang lebih tahu duduk masalahnya tentu akan menganggapnya musibah pula, dan bahkan lebih besar dan sangat merepotkan.
Seperti tembang puisi Syekh Ibnu Qoyyim :
فإن كنت لا تدرى فتلك مصيبة # وإن كنت تدرى فالمصيبة أعظم
Dan bila anda tahu, maka musibah itu menjadi lebih besar.
Terbayang dalam tamsil ; bila dalam serombongan orang bepergian naik bis, tentu masyarakat penumpang terbagi tiga ; sopir, kondektur dan penumpang.
Bila tujuan telah sepakat ditentukan, semua harus duduk dalam posisi masing-masing. Si sopir harus tahu cara menyopir, berlisensi meski hanya legitimasi dari masyarakat penumpang, serta tahu rute perjalanan.
Kemudian tugas kondektur adalah asistensi pak sopir, baik saat bis berjalan, akan parkir, atau melayani kebutuhan pak sopir dan bis nya sekaligus.
Sedangkan penumpang adalah mereka yang duduk tenang sambil menikmati perjalanan, bila perlu tidur dan tahu-tahu sudah sampai tujuan.
Demikian gambaran mudah hidup bermasyarakat dalam segala lini bidang kehidupan. Ketimpangan tentu akan muncul saat masing-masing bersikap tidak sesuai status dan porsinya.
Hal ini bisa dibayangkan akan jauh lebih berat, bila itu terkait masalah agama yang efeknya akan berkelanjutan pada kehidupan abadi di akhirat.
Ketika seseorang bertanya kepada penumpang , mau kemana ? untuk apa ? caranya bagaimana ?
Tentu dijawab : ke sana, cari manfaat, sedang caranya tentu ikut pak sopir. Jawaban ini sudah sesuai porsinya.
Namun ketika pertanyaan itu sebenarnya tidak terkait dengan penumpang tetapi ditujukan kepada sopir, seperti pertanyaan jebakan ; bagaimana bisa pak sopir mengambil rute seperti itu ? buktinya apa ?
Tentu secara umum jawaban nya adalah ; tidak tahu, Cuma ikut-ikutan pak sopir. Dari sinilah awal musibah dimulai, seperti dengan kata-kata tasykik (meragukan) : kok bisa begitu ? jangan-jangan ? padahal kan rutenya jelas, harusnya begini !.
Sama halnya dengan masalah agama, tidak fair bila masyarakat awam ditanya :
Dalil nya apa ?
Sesuai qur’an hadits tidak ?
Hadits nya shohih tidak ?
Apa pernah dilakukan nabi ?
Apa pernah dilakukan sahabat ?
Kamu ikut nabi atau ustad itu ?
Apa ustad itu lebih pintar dari nabi ?
Apa nabi tidak tahu mana yang lebih baik ?
Apa nabi tidak menyampaikan seluruh syari’at ?
kamu menuduh nabi berkhianat tidak tabligh ?
Pastinya tidak tahu, ragu-ragu lalu bingung. Semua itu karena ditanyakan kepada orang yang tidak sesuai status dan porsinya. Akhirnya mudah sekali untuk dijebak dalam rangkaian pertanyaan tasykik yang sangat menyesatkan. Untuk itulah masing-masing perlu waspada dan mawas terhadap lingkungan. Bila benar hal ini terjadi, maka sebetulnya bisa dijawab dengan mudah ;
Saya tidak tahu, karena cuma ikutan ustad itu sebagai sopir saya.
Kalau anda mau, mari saya antar kepada Beliau, karena saya juga ingin tahu.
Bersambung....
Allohumma Sholli Alan Nabi Muhammad wa Sallim
Suka artikel diatas ?, Silahkan Klik :
POSTING : Tamsil Pelajaran 7 : Guru Agama Ibarat Sopir
SHARE : Bagikan untuk teman anda. Semoga bermanfaat dan terima kasih.