Apakah Rebo Wekasan itu ?
Rebo Wekasan atau Rabu pungkasan adalah istilah untuk hari rabu terakhir bulan Safar, atau pendapat lain mengatakan hari rabu terakhir bulan Rajab, ada lagi yang mengatakan hari rabu terakhir setiap bulan. Dimana dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa ini adalah hari nahas atau naas dan sial yang berkelanjutan. Yakni ayat :
(Surat Al-Qomar 19)
Adzab untuk siapa ?
Angin shorsor atau angin topan berhawa dingin dan menimbulkan suara bergemuruh ini ditimpakan kepada sebagai adzab kepada kaum ‘ad atas pembangkangan mereka kepada Nabi Huud .
Adzab berkelanjutan
Siksa yang menimpa kepada kaum ‘Aad ini ada yang menafsirkan terjadi terus menerus berlanjut sampai nanti di akhirat. Seperti dalam tafsir Ibnu Katsir :
Begitu juga dalam tafsir At-Thobari :
Ar-Rozy dalam tafsirnya juga mengatakan :
Hari Rabu kah dan setiap bulan kah ?
Hari yang dimaksud dalam ayat diatas ditafsirkan sebagai hari Rabu. Berdasar periwayatan : Dari Al-Baghowy dalam tafsir nya mengatakan :
Begitu juga dalam kitab Fathul qodir - As-Syawkani meriwayatkan dari Imam Az-Zujaj :
Dan Al-Qurthubi pada tafsirnya juga berkata :
Sikap seorang mu’min
Pembahasan Rabo Wekasan ini sebenarnya berujung pada bahasan syar’u man qoblana atau syari’at ummat sebelum kita. Dimana yang menjadi persoalan adalah apabila hal itu disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadits tetapi tidak di tegaskan, apakah hal itu tetap berlaku untuk kita ummat muhammad ataukah sudah tidak berlaku lagi ?.
Jawaban peletakan dalil :
Ada ikhtilaf atau perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Sehingga sangat wajar bila hasil hukum tentang Rebo wekasan ini juga akan berbeda.
Untuk kalangan kita penganut As-Syafi’iyyah, jelas lah bahwa syar’u man qoblana bisa menjadi sandaran hukum. Beralasan dengan sebab bahwa hal minimal yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits adalah pelajaran terbaik (ibroh) yang tentu menjadi pijakan perbuatan. Bilamana hal itu merupakan pelajaran, tentu bisa untuk siapa, dimana dan kapanpun orang itu berada. Jadi tidak ada salahnya.
Jawaban dari sisi nahwu (grammar bahasa arab) ;
Kata nahas / sial diletakkan sebagai idhofah (sandaran pengikat) dari kata yaum (hari), yang dalam bahasa Indonesia berarti : nahasnya hari. Bukan diletakkan sebagai sifat yang menggambarkan kata hari, atau artinya menjadi : hari yang nahas.
Makna nahasnya hari berarti menerangkan tentang nahas yang menimpa sepanjang hari itu, sebagai adzab dari perbuatan-perbuatan ma’shiyat. Sedangkan hari yang nahas berarti pada diri hari itu sudah terkandung kesialan, dan akan menimpa siapapun yang melewati hari tersebut.Jadi sebenarnya dari sisi grammar telah jelas bahwa kesialan yang menimpa mereka hanya terjadi pada mereka saja sepanjang hari itu, dan tidak ada lagi pada hari berikutnya.
Namun dijelaskan dalam tafsir diatas, bahwa adzab yang menimpa memang hanya untuk mereka di hari itu, tetapi efek dari adzab untuk mereka itu tetap berlangsung di alam barakh dan berlanjut sampai ke neraka jahannam. Efek yang ditimbulkan inilah yang mungkin bisa menimpa orang lain, selagi posisinya sama dengan mereka dalam perbuatan ma’shiyat.
Jawaban menurut kesesuaian hadits :
Hadits yang disebutkan diatas adalah hadits dho’if atau lemah. Sehingga dalam status perkara hukum, tidak bisa dijadikan pegangan. Namun pembahasan ini bukan lah masalah terkait hitam dan putihnya hukum. Tetapi hanyalah masalah sikap akhlaq dan apa yang akan dilakukan seseorang setelah mendapat momentum pelajaran dari Nabi Huud dan kaumnya tersebut.
Tegas disampaikan bahwa aqidah seorang muslim harus benar-benar terjaga, bahwa yang memberikan semua itu hanyalah Alloh semata. Bilamana seorang muslim dengan aqidah yang kuat tentu akan menisbatkan semuanya karena Alloh.
Salah besar bila dikata ada penyakit menular, hari sial, kenyang karena makan, sakit karena jatuh, dan lain-lain, meski itu kalimat kaprah yang biasa dikata kebanyakan orang. Kebanyakan juga akan mengatakan, “obat ini sekedar wasilah kesembuhanku, karena sebab akibat merupakan sunnatulloh. Benar tapi kurang benar. Cobalah lebih berhati-hati dalam bicara antara lesan dan hati yang harus selalu tersambung. Karena semuanya Alloh lah yang berbuat, dan begitu juga sunnatulloh adalah sesuatu hal yang jaiz (boleh dikerjakan dan boleh sebaliknya), dimana tidak mustahil Bagi Nya berbuat tidak seperti biasanya.
Kesimpulan
Berefek atau tidaknya adzab kaum ‘Aad ini kepada ummat selain mereka dijawab dengan walloohu a’lam, hanya Alloh yang lebih tahu. Toh, itu hanya kepada mereka yang jahat dan kriminal, serta tidak akan menimpa kepada kaum mu’minin muslimin.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah ; adakah aku seorang muslim yang mu’min ?
Suka artikel diatas ?, Silahkan Klik :
POSTING : Rebo Wekasan
SHARE : Bagikan untuk teman anda. Semoga bermanfaat dan terima kasih.